Sunday, October 23, 2016

Tidak Lagi

Halooooo!

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali memosting sesuatu di sini. Entah kenapa hasrat untuk kembali aktif di blogger kembali muncul. Yah, sebagai pemanasan biarlah aku re-publish cerita yang sempat kuanggap sebagai masterpiece ini wkwk.

Mau curcol aja sih. Jadi, cerita ini terinspirasi dari lagu Katy Perry - The One That Got Away. Baiklah, mungkin kalian para pembaca tidak dapat menemukan korelasi yang jelas dari cerita dan lagunya. Katakanlah cerita dengan judul 'Tidak Lagi' ini merupakan hasil dari apa yang muncul di benakku ketika mendengar lagu The One That Got Away.

Jika tidak salah ingat, sekitar sepuluh bulan yang lalu, ketika aku masih diresahkan dengan UN yang tidak terasa sudah tinggal menghitung bulan, aku malah malas-malasan di depan laptop. Iya, nggak salah kok. Walau sedang dilanda rasa resah, gelisah, dilema, dan galau menjadi anak tahun terakhir di SMA (halah), bukannya memantapkan diri dengan memikirkan jurusan yang diinginkan atau syukur-syukur belajar, aku malah mendengarkan lagu, guling-gulingan di kasur, dan terputarlah lagunya Katy Perry di playlist. Seperti biasa, jiwa-jiwa melankolisnya pun tergerak dan lahirlah cerita ini.

Yah, sepertinya cukup sekian postingan yang merangkap sebagai pemanasan untuk kembali aktif di dunia per-blog-an (?) ini. Mungkin di lain kesempatan, aku akan kembali menulis sesuatu lagi; bisa jadi di waktu dekat ini. Karena idk why hasrat menulisku akan melimpah ruah begitu di kondisi yang tertekan dan coughbentarlagiutscough.

Akhirnya,
terima kasih sudah menyempatkan sekian menitmu untuk mampir ke sini! Kalau masih penasaran dengan cerita pendeknya, baca postingan ini selengkapnya dengan mengklik tombol read more di bawah ini~


Dua alis tipis milikmu membentuk kerutan yang sarat akan keseriusan, membiarkan jemari lentik itu mengambang di udara. Keenam dawai yang tadinya saling bergetar teratur menciptakan harmoni mulai terdengar sayup-sayup hingga kemudian berhenti bergetar. Entah, apakah ada nada sumbang lagi yang menyebabkan air mukamu sedemikian seriusnya—aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah, iris bening yang biasanya akan berbinar kesenangan milikmu itu telah kehilangan kilaunya—kosong, hampa, tidak dapat kuraih.

***

Pertemuan pertama kita adalah saat seorang pengibar yang berada di sebelah kanan membentangkan kain bendera selebar-lebarnya sebelum menyeru dengan lantang, “bendera siap!” Kemudian, regu koor mulai menyanyikan lagu kebangsaan dengan khidmat. Dan sayup-sayup kutemukan suara paling merdu di antara sekumpulan suara di sana. Ketika aku berjinjit mencari-cari pemilik suara itu, sepasang iris bening milikmu tertangkap oleh mataku. Saat itu, entah mengapa aku merasa sangat yakin kamulah pemilik suara itu. Rasanya seperti aku telah menemukan sebuah intan yang jauh lebih berkilauan di antara tumpukan emas.

Di tahun ajaran kedua, aku tak menyangka dapat menatap sosokmu tengah duduk bertopang dagu—sendirian di pojok kelas. Rambut sebahumu yang berwarna hitam kecokelatan terlihat begitu mencolok di sana. Tanpa ragu, aku melangkahkan kaki ke arahmu. “Hai, aku Gio!”

Dari situ, bagai anak kucing terhadap induknya, aku terus menempelkan diri padamu. Berkali-kali kamu membentak, mengusir, dan mencercaku. Tetapi, lebah tidak akan mengerumuni bunga bila tak ada nektarnya, bukan? Terlebih lagi, aku sering mendapatimu melamun dengan tanganmu yang berhenti di udara—membiarkan dawai-dawaimu berhenti bergetar. Serentetan pertanyaan pun muncul—apa yang kamu pikirkan?; siapa yang ada di pikiranmu?; dan pertanyaan paling aku tidak ingin pikirkan—siapa pun itu, apakah dia orang yang teramat penting bagimu?

Ketika tiba saatnya jam pelajaran Seni Musik, orang pertama yang menunjukkan antusiasmenya adalah dirimu. Lenganmu menarik leher gitar akustik sesegera mungkin sebelum kemudian menghambur keluar kelas menuju ruang musik, tempat favoritmu. Setelah hampir satu semester lengket, aku jadi tahu ketertarikan, kesukaan, dan kecintaanmu terhadap duniamu. Dan perlahan tapi pasti, kamu mulai menerima keberadaanku. Pada akhirnya, aku tak dapat menyuarakan pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya—semua kubiarkan tidak terjawab. Bukankah begini saja sudah bagus?

Jika orang-orang lain memanggilku idiot, kamu mulai menyebutku dengan muse setelah kamu sepenuhnya menerima keberadaanku—kurasa. Aku yang tidak tahu menahu hanya merengut tidak terima, mengira kamu menyamakanku dengan seekor tikus—sebelum kutahu bahwa itu adalah mouse. Dari sana, kusimpulkan istilah muse adalah jabatan spesial yang kamu berikan padaku. Dan hal terpenting dari yang paling penting sekalipun, aku tidak lagi melihatmu melamun—tidak akan kubiarkan tatapan kosong hinggap lagi di paras cantikmu.

Satu yang mengganjal—aku buta akan duniamu. Dari do sampai fa yang telah kamu ajarkan pun tidak dapat kusuarakan dengan sempurna, apalagi angka dengan simbol pagar di sebelahnya. Kres—kamu bilang—yang terdengar seperti renyahan wafer bagiku. Kamu akan menanggapi leluconku dengan tawa heboh yang keluar dari belahan bibir tipismu. Kamu tahu? Itu adalah hal baru—dan yang kemudian menjadi tontonan favoritku.

Semester akhir tahun kedua kulewati dengan penuh kebahagiaan bersamamu. Setiap kali kamu berkutat dengan benda berdawai di pangkuan dan setumpuk memo di atas meja, kamu memintaku untuk menemanimu—terserah walau hanya duduk-duduk tidak jelas di sekitarmu, atau bahkan tidur pun boleh. Asalkan aku berada di dalam radius penglihatanmu, begitu katamu. Kamu tahu? Aku merasa menjadi pria paling spesial di hidupmu.

Memasuki tahun ketiga, segala hal masih ada pada tempatnya. Kamu masih berada di kelas yang sama denganku. Hanya satu yang berbeda—seorang murid pindahan datang di kelas ini. Ia berdiri di depan kelas dengan raut angkuh di wajah—yang tidak dapat kusangkal—tampan tersebut. Tian—begitulah ia memperkenalkan dirinya. Singkat, padat. Setiap kaum hawa mulai berkasak-kusuk penuh ketertarikan. Saat itu, aku melirik ke arahmu yang masih berkutat dengan memo. Aku tersenyum lega, bersyukur bahwa tidak ada gerak-gerik darimu yang mengindikasikan sebuah ketertarikan padanya—kecuali lirikan sekilas si murid pindahan ke arahmu yang sempat luput dari pandanganku.

Sekali lagi, segala hal masih ada pada tempatnya. Kamu masih memintaku untuk menemanimu walau hampir detik demi detik waktu yang kita lewati hanya diisi dengan kefokusanmu pada keenam dawai itu. Aku sama sekali tidak keberatan. Sebaliknya, aku merasa sangat senang. Sungguh senang.

Bulan ketiga tahun ketiga, kamu lebih sibuk dengan kegiatan rekaman. Intensitas pertemuanku denganmu makin menipis. Sekali lagi, aku buta akan duniamu. Sehingga, aku hanya tersenyum penuh pengertian.

Bulan keempat tahun ketiga, selesai dengan urusan rekaman, kita disibukkan dengan berbagai macam uji coba untuk menghadapi ujian akhir. Pertemuanku denganmu hampir mencapai nol. Sekali lagi, aku kembali tersenyum pengertian.

Bulan kelima tahun ketiga, aku mulai mendengar desas-desus akan kedekatanmu dengan murid pidahan angkuh itu. Aku menampik keras-keras desas-desus tersebut dengan dalih bahwa kamu sekali pun tidak pernah terlihat mencoba untuk berkenalan secara langsung dengannya. Aku mengucapkan hal itu berkali-kali—berusaha menghilangkan kemungkinan sebaliknya.

Bulan keenam tahun ketiga, kamu kembali memintaku untuk menemanimu. Tentu saja, aku langsung mengiyakan permintaanmu. Namun, sepertinya, kali ini segala hal tidak berada di tempatnya. Tidak lagi.
 
***

Kamu merobek kertas teratas pada memomu dengan frustrasi. Rambut hitam kecokelatan yang makin lama makin berlomba-lomba melebihi bahu ringkih itu terlihat begitu acak-acakan. Hal yang tentu begitu mengejutkanku. Tidak pernah sekali pun aku melihatmu begitu berantakan.

Hal yang jauh mengejutkan lagi adalah ketika lenganmu tanpa ragu mengayun—melempar gitar akustik kesayanganmu ke tembok ruang musik, menciptakan bunyi bedebum yang keras hingga leher benda berdawai itu patah.

Mataku menatap heran pada sosokmu yang malah jatuh tergugu ke atas lantai. Samar-samar kudengar isakan kecil dari mulut mungilmu—yang sebenarnya ingin kutampik sedemikian rupa. Segudang tanda tanya berseliweran liar di otakku.

Kenapa denganmu? Kenapa kamu terisak? Kenapa kamu lempar gitar—yang kamu bilang adalah pemberian dari orang yang penting bagimu.

Aku tak dapat menatap langsung pada irismu. Muka yang biasanya terlihat sangat ceria itu tertunduk dalam, membiarkan rambut sebahu itu terurai ke bawah menutupi sebagian wajahmu.

Getaran dibahumu kian menjadi-jadi ketika kucoba untuk menyentuhnya, berusaha menenangkanmu. Tetes demi tetes air mata yang jatuh ke lantai dapat kulihat dengan jelas. “Veena...”

Isakanmu makin terdengar keras ketika kedua lenganku telah sepenuhnya menarikmu dalam kungkunganku.

Tolong, jangan buat aku makin buta dengan kebisuanmu!  Aku memanglah buta akan duniamu. Tetapi, setidaknya biarkan aku tahu, mengerti, dan paham akan hidupmu, Veena...

“Gio...a-aku tidak bisa!” Racaumu dalam pelukanku. Alih-alih membalasnya, kamu menggunakan kedua telapak tangan untuk menutupi wajahmu. Entah untuk mencegah seragamku basah dari air matamu atau menghindar untuk membalas pelukanku—aku tidak tahu.

“Ssshh, sudah. Tenanglah, Veena. Aku di sini,” tuturku tulus, walau sebenarnya aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padamu. Paling tidak, aku berusaha untuk menenangkanmu. Percayalah, melihat orang yang benar-benar engkau sayangi menangis adalah hal terakhir yang kalian inginkan di dunia ini.

Aku berharap tidak ada hal yang lebih mengejutkan yang kamu lakukan lagi setelah insiden gitar tadi. Tetapi, hal yang kuinginkan malah terjadi sebaliknya.

“Gio, kamu bukan muse-ku lagi... Tidak lagi...”

Kalimat itu terucap dengan susah payah di sela-sela isakanmu. Tanpa dapat kuhindari, pikiranku tiba-tiba kosong. Blank. Kedua tangan yang tadinya merengkuh penuh proteksi melingkari tubuh mungilmu jatuh begitu saja. Melemas tanpa kuminta.

“Maafkan aku—aku tidak dapat menciptakan musik yang terinspirasi darimu lagi...”

Tunggu, aku belum selesai mencerna kalimatmu yang pertama. Tolong jangan katakan hal yang lain lagi.

“Semuanya berantakan begitu saja... Aku tidak dapat menghindarinya...”

Apa yang kamu bicarakan, Veena? Apa?

“Aku sudah menemukannya—pemberi gitar akustik yang selama ini bersamaku...”

Siapa?

“Muse-ku tidak lagi dirimu, Gio...”
 
Siapa dia, Veena?

“Tian—maafkan aku...”

Mendengar nama murid pindahan angkuh itu terucap dari mulutmu, tubuhku terasa tidak lagi di sana. Ya, memang. Kakiku bertindak lebih cepat dari pikiranku. Dan semuanya menjadi hitam.

.

.

.

.

.

1229 kata. Boyolali, 15 Desember 2015, 19:07 WIB.

No comments:

Post a Comment