Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali memosting
sesuatu di sini. Entah kenapa hasrat untuk kembali aktif di blogger kembali
muncul. Yah, sebagai pemanasan biarlah aku re-publish cerita yang sempat
kuanggap sebagai masterpiece ini wkwk.
Mau curcol aja sih. Jadi, cerita ini terinspirasi dari lagu
Katy Perry - The One That Got Away. Baiklah, mungkin kalian para pembaca tidak
dapat menemukan korelasi yang jelas dari cerita dan lagunya. Katakanlah cerita
dengan judul 'Tidak Lagi' ini merupakan hasil dari apa yang muncul di benakku
ketika mendengar lagu The One That Got Away.
Jika tidak salah ingat, sekitar sepuluh bulan yang lalu,
ketika aku masih diresahkan dengan UN yang tidak terasa sudah tinggal
menghitung bulan, aku malah malas-malasan di depan laptop. Iya, nggak salah
kok. Walau sedang dilanda rasa resah, gelisah, dilema, dan galau menjadi anak
tahun terakhir di SMA (halah), bukannya memantapkan diri dengan memikirkan
jurusan yang diinginkan atau syukur-syukur belajar, aku malah mendengarkan lagu,
guling-gulingan di kasur, dan terputarlah lagunya Katy Perry di playlist.
Seperti biasa, jiwa-jiwa melankolisnya pun tergerak dan lahirlah cerita ini.
Yah, sepertinya cukup sekian postingan yang merangkap
sebagai pemanasan untuk kembali aktif di dunia per-blog-an (?) ini. Mungkin di
lain kesempatan, aku akan kembali menulis sesuatu lagi; bisa jadi di waktu
dekat ini. Karena idk why hasrat menulisku akan melimpah ruah begitu di kondisi
yang tertekan dan coughbentarlagiutscough.
Akhirnya,
terima kasih sudah menyempatkan sekian menitmu untuk mampir
ke sini! Kalau masih penasaran dengan cerita pendeknya, baca postingan ini
selengkapnya dengan mengklik tombol read more di bawah ini~
Dua alis tipis milikmu membentuk kerutan yang sarat akan
keseriusan, membiarkan jemari lentik itu mengambang di udara. Keenam dawai yang
tadinya saling bergetar teratur menciptakan harmoni mulai terdengar sayup-sayup
hingga kemudian berhenti bergetar. Entah, apakah ada nada sumbang lagi yang
menyebabkan air mukamu sedemikian seriusnya—aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah,
iris bening yang biasanya akan berbinar kesenangan milikmu itu telah kehilangan
kilaunya—kosong, hampa, tidak dapat kuraih.
***
Pertemuan pertama kita adalah saat seorang pengibar yang
berada di sebelah kanan membentangkan kain bendera selebar-lebarnya sebelum
menyeru dengan lantang, “bendera siap!” Kemudian, regu koor mulai menyanyikan
lagu kebangsaan dengan khidmat. Dan sayup-sayup kutemukan suara paling merdu di
antara sekumpulan suara di sana. Ketika aku berjinjit mencari-cari pemilik
suara itu, sepasang iris bening milikmu tertangkap oleh mataku. Saat itu, entah
mengapa aku merasa sangat yakin kamulah pemilik suara itu. Rasanya seperti aku
telah menemukan sebuah intan yang jauh lebih berkilauan di antara tumpukan
emas.
Di tahun ajaran kedua, aku tak menyangka dapat menatap
sosokmu tengah duduk bertopang dagu—sendirian di pojok kelas. Rambut sebahumu
yang berwarna hitam kecokelatan terlihat begitu mencolok di sana. Tanpa ragu,
aku melangkahkan kaki ke arahmu. “Hai, aku Gio!”
Dari situ, bagai anak kucing terhadap induknya, aku terus
menempelkan diri padamu. Berkali-kali kamu membentak, mengusir, dan mencercaku.
Tetapi, lebah tidak akan mengerumuni bunga bila tak ada nektarnya, bukan?
Terlebih lagi, aku sering mendapatimu melamun dengan tanganmu yang berhenti di
udara—membiarkan dawai-dawaimu berhenti bergetar. Serentetan pertanyaan pun
muncul—apa yang kamu pikirkan?; siapa yang ada di pikiranmu?; dan pertanyaan
paling aku tidak ingin pikirkan—siapa pun itu, apakah dia orang yang teramat
penting bagimu?
Ketika tiba saatnya jam pelajaran Seni Musik, orang pertama
yang menunjukkan antusiasmenya adalah dirimu. Lenganmu menarik leher gitar akustik
sesegera mungkin sebelum kemudian menghambur keluar kelas menuju ruang musik,
tempat favoritmu. Setelah hampir satu semester lengket, aku jadi tahu
ketertarikan, kesukaan, dan kecintaanmu terhadap duniamu. Dan perlahan tapi
pasti, kamu mulai menerima keberadaanku. Pada akhirnya, aku tak dapat
menyuarakan pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya—semua kubiarkan tidak terjawab.
Bukankah begini saja sudah bagus?
Jika orang-orang lain memanggilku idiot, kamu mulai
menyebutku dengan muse setelah kamu sepenuhnya menerima keberadaanku—kurasa.
Aku yang tidak tahu menahu hanya merengut tidak terima, mengira kamu
menyamakanku dengan seekor tikus—sebelum kutahu bahwa itu adalah mouse. Dari
sana, kusimpulkan istilah muse adalah jabatan spesial yang kamu berikan padaku.
Dan hal terpenting dari yang paling penting sekalipun, aku tidak lagi melihatmu
melamun—tidak akan kubiarkan tatapan kosong hinggap lagi di paras cantikmu.
Satu yang mengganjal—aku buta akan duniamu. Dari do sampai
fa yang telah kamu ajarkan pun tidak dapat kusuarakan dengan sempurna, apalagi
angka dengan simbol pagar di sebelahnya. Kres—kamu bilang—yang terdengar
seperti renyahan wafer bagiku. Kamu akan menanggapi leluconku dengan tawa heboh
yang keluar dari belahan bibir tipismu. Kamu tahu? Itu adalah hal baru—dan yang
kemudian menjadi tontonan favoritku.
Semester akhir tahun kedua kulewati dengan penuh kebahagiaan
bersamamu. Setiap kali kamu berkutat dengan benda berdawai di pangkuan dan
setumpuk memo di atas meja, kamu memintaku untuk menemanimu—terserah walau
hanya duduk-duduk tidak jelas di sekitarmu, atau bahkan tidur pun boleh.
Asalkan aku berada di dalam radius penglihatanmu, begitu katamu. Kamu tahu? Aku
merasa menjadi pria paling spesial di hidupmu.
Memasuki tahun ketiga, segala hal masih ada pada tempatnya.
Kamu masih berada di kelas yang sama denganku. Hanya satu yang berbeda—seorang
murid pindahan datang di kelas ini. Ia berdiri di depan kelas dengan raut
angkuh di wajah—yang tidak dapat kusangkal—tampan tersebut. Tian—begitulah ia
memperkenalkan dirinya. Singkat, padat. Setiap kaum hawa mulai berkasak-kusuk
penuh ketertarikan. Saat itu, aku melirik ke arahmu yang masih berkutat dengan
memo. Aku tersenyum lega, bersyukur bahwa tidak ada gerak-gerik darimu yang
mengindikasikan sebuah ketertarikan padanya—kecuali lirikan sekilas si murid
pindahan ke arahmu yang sempat luput dari pandanganku.
Sekali lagi, segala hal masih ada pada tempatnya. Kamu masih
memintaku untuk menemanimu walau hampir detik demi detik waktu yang kita lewati
hanya diisi dengan kefokusanmu pada keenam dawai itu. Aku sama sekali tidak
keberatan. Sebaliknya, aku merasa sangat senang. Sungguh senang.
Bulan ketiga tahun ketiga, kamu lebih sibuk dengan kegiatan
rekaman. Intensitas pertemuanku denganmu makin menipis. Sekali lagi, aku buta
akan duniamu. Sehingga, aku hanya tersenyum penuh pengertian.
Bulan keempat tahun ketiga, selesai dengan urusan rekaman,
kita disibukkan dengan berbagai macam uji coba untuk menghadapi ujian akhir.
Pertemuanku denganmu hampir mencapai nol. Sekali lagi, aku kembali tersenyum
pengertian.
Bulan kelima tahun ketiga, aku mulai mendengar desas-desus
akan kedekatanmu dengan murid pidahan angkuh itu. Aku menampik keras-keras
desas-desus tersebut dengan dalih bahwa kamu sekali pun tidak pernah terlihat
mencoba untuk berkenalan secara langsung dengannya. Aku mengucapkan hal itu
berkali-kali—berusaha menghilangkan kemungkinan sebaliknya.
Bulan keenam tahun ketiga, kamu kembali memintaku untuk
menemanimu. Tentu saja, aku langsung mengiyakan permintaanmu. Namun,
sepertinya, kali ini segala hal tidak berada di tempatnya. Tidak lagi.
***
Kamu merobek kertas teratas pada memomu dengan frustrasi.
Rambut hitam kecokelatan yang makin lama makin berlomba-lomba melebihi bahu
ringkih itu terlihat begitu acak-acakan. Hal yang tentu begitu mengejutkanku.
Tidak pernah sekali pun aku melihatmu begitu berantakan.
Hal yang jauh mengejutkan lagi adalah ketika lenganmu tanpa
ragu mengayun—melempar gitar akustik kesayanganmu ke tembok ruang musik,
menciptakan bunyi bedebum yang keras hingga leher benda berdawai itu patah.
Mataku menatap heran pada sosokmu yang malah jatuh tergugu
ke atas lantai. Samar-samar kudengar isakan kecil dari mulut mungilmu—yang
sebenarnya ingin kutampik sedemikian rupa. Segudang tanda tanya berseliweran
liar di otakku.
Kenapa denganmu? Kenapa kamu terisak? Kenapa kamu lempar
gitar—yang kamu bilang adalah pemberian dari orang yang penting bagimu.
Aku tak dapat menatap langsung pada irismu. Muka yang
biasanya terlihat sangat ceria itu tertunduk dalam, membiarkan rambut sebahu
itu terurai ke bawah menutupi sebagian wajahmu.
Getaran dibahumu kian menjadi-jadi ketika kucoba untuk
menyentuhnya, berusaha menenangkanmu. Tetes demi tetes air mata yang jatuh ke
lantai dapat kulihat dengan jelas. “Veena...”
Isakanmu makin terdengar keras ketika kedua lenganku telah
sepenuhnya menarikmu dalam kungkunganku.
Tolong, jangan buat aku makin buta dengan kebisuanmu! Aku memanglah buta akan duniamu. Tetapi,
setidaknya biarkan aku tahu, mengerti, dan paham akan hidupmu, Veena...
“Gio...a-aku tidak bisa!” Racaumu dalam pelukanku. Alih-alih
membalasnya, kamu menggunakan kedua telapak tangan untuk menutupi wajahmu.
Entah untuk mencegah seragamku basah dari air matamu atau menghindar untuk
membalas pelukanku—aku tidak tahu.
“Ssshh, sudah. Tenanglah, Veena. Aku di sini,” tuturku
tulus, walau sebenarnya aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padamu. Paling
tidak, aku berusaha untuk menenangkanmu. Percayalah, melihat orang yang
benar-benar engkau sayangi menangis adalah hal terakhir yang kalian inginkan di
dunia ini.
Aku berharap tidak ada hal yang lebih mengejutkan yang kamu
lakukan lagi setelah insiden gitar tadi. Tetapi, hal yang kuinginkan malah
terjadi sebaliknya.
“Gio, kamu bukan muse-ku lagi... Tidak lagi...”
Kalimat itu terucap dengan susah payah di sela-sela
isakanmu. Tanpa dapat kuhindari, pikiranku tiba-tiba kosong. Blank. Kedua
tangan yang tadinya merengkuh penuh proteksi melingkari tubuh mungilmu jatuh
begitu saja. Melemas tanpa kuminta.
“Maafkan aku—aku tidak dapat menciptakan musik yang
terinspirasi darimu lagi...”
Tunggu, aku belum selesai mencerna kalimatmu yang pertama.
Tolong jangan katakan hal yang lain lagi.
“Semuanya berantakan begitu saja... Aku tidak dapat
menghindarinya...”
Apa yang kamu bicarakan, Veena? Apa?
“Aku sudah menemukannya—pemberi gitar akustik yang selama
ini bersamaku...”
Siapa?
“Muse-ku tidak lagi dirimu, Gio...”
Siapa dia, Veena?
“Tian—maafkan aku...”
Mendengar nama murid pindahan angkuh itu terucap dari
mulutmu, tubuhku terasa tidak lagi di sana. Ya, memang. Kakiku bertindak lebih
cepat dari pikiranku. Dan semuanya menjadi hitam.
.
.
.
.
.
1229 kata. Boyolali, 15 Desember 2015, 19:07 WIB.
No comments:
Post a Comment