Sunday, March 17, 2013

Waras?

Matahari bersinar terik. Siang-siang begini, rasanya menyenangkan sekali jalan-jalan di taman. Aku melangkahkan kakiku ke taman yang tak jauh dari posisiku berdiri sekarang. Lihat! Oh, menyenangkan sekali bila aku bisa tiduran di atas hamparan permadani hijau itu!

Sepanjang jalan yang kulewati, banyak pasang mata yang menatapku—tatapan aneh, geli, takut, bahkan ada yang was-was. Hah, apa peduliku?

Aku menangkap sosok ibu-ibu yang menggendong putrinya yang masih balita. Mereka yang melihatku berjalan ke arahnya segera menyingkir. Aku ini orang terhormat, kalian tahu? Presiden saja harus membawa puluhan pengawal untuk membukakan jalan baginya. Lihat saja aku. Mereka menyingkir terlebih dahulu setelah melihatku. Tidak. Aku bukan anak seorang yakuza. Tapi—hei lihat! Rumput-rumput hijau itu sudah dipotong dengan rapi oleh si penjaga taman. Senangnya aku.

Sesampainya di taman yang ada padang rumputnya itu, aku langsung menikmati aroma musim panas yang menyenangkan itu. Matahari yang bersinar terik, rerumputan yang harum. Haah, indahnya dunia.
.
Sekitar tiga puluh menitan aku tiduran di hamparan rumput hijau itu. Orang-orang yang tadinya berada di sana pun memilih untuk menyingkir.

"Hei kau!" Panggil seseorang. Aku segera mencari sumber suara tersebut. Dan saat aku menoleh ke belakang, kulihat seorang laki-laki berseragam rapi lengkap dengan tongkatnya. Yang langsung tersirat di benakku adalah, dia polisi.

"Ini bukan tempatmu! Menyingkir kau dari sini!" Usirnya. Aku pun tergelak—tertawa terbahak-bahak. Laki-laki berseragam itu pun menarik baju kumalku dan menarikku menjauhi tempat yang aku tiduri tadi.
"Hahahaha!" Tawaku. Polisi itu membentak—menyuruhku untuk diam.

Sesampainya di luar gerbang taman, polisi itu melepaskan genggamannya di bajuku yang kumal. Dengan halus? Ah tidak. Dengan sekuat tenaganya hingga tubuhku terbentur aspal jalan.

"Jangan kembali lagi, kau orang gila!" Bentaknya. Aku menyengir menatapnya, disertai tawaku.

"Apa yang lucu, hah!" Bentaknya—lagi. Aku pun berdiri dan berbalik menjauhinya. Dasar polisi. Tidak ada gunanya kau berbicara denganku.

Aku berjalan ke perempatan jalan yang tak jauh dari taman. Kulihat di bawah lampu lalu lintas ada seseorang yang tengah berbicara entah kepada siapa. Aku pun terbahak lagi melihatnya. Ia pernah melakukan hal gila di perempatan itu, hingga para pengemudi melemparinya apa saja yang bisa dilempar karena perbuatan orang gila itu.

Betapa gilanya aku, orang gila yang menertawakan orang gila. Ah, apa aku belum bilang? Aku adalah orang gila. Ya. Orang tak waras yang kerjaannya hanya berkeliling dengan tawaannya. Tetapi, apa benar aku pantas disebut orang gila? Tetapi, tolong perhatikan orang-orang di luar sana yang mengaku bahwa dirinya benar-benar "waras". Apakah orang yang tak mau berbagi dengan sesama pantas disebut waras? Apakah orang yang hanya mementingkan kenikmatan duniawi itu pantas disebut waras? Dan pula, apakah mereka yang membedakan mana yang kaya, miskin, jelek, cantik, pintar, bodoh, itu orang waras?

Aku pun tak tahu jawabannya. Yang kutahu, aku hanya bisa memperhatikan mereka yang menganggap dirinya waras—tidak gila sepertiku, dan berserah diri kepada-Nya.

No comments:

Post a Comment